Sabtu, 21 Januari 2012

Pengertian Modernisasi
Pada dasarnya setiap masyarakat menginginkan perubahandari keadaan tertentu kea rah yang lebih baik dengan harapan akan tercapai kehidupan yang leih maju dan makmur. Keinginan akan adanya perubahan itu adalah awal dari suatu proses modernisasi.
Berikut ini adalah beberapa pengertian modernisasi dar beberapa pakar,
Wilbert E Moore, modernisasi adalah suatu transformasi total kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi social kea rah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi cirri Negara barat yang stabil.
J W School, modernisasi adalah suatu transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya.
Berdasar pada dua pendapat diatas, secara sederhana modernisasi dapat diartikan sebagai perubahann masyarakat dari masyaraat tradisional ke masyarakat modern dalam seluruh aspeknya. Bentuk perubahan dalam pengertian modernisasi adalah perubahan yang terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasa diistahkan dengan social planning.


Manusia Sebagai Makhluk Individu, Sosial, dan Berbudaya


  1. Manusia Sebagai Makhluk Individu
Dalam pembahasan manusia sebagai makhluk individu, disini kami membaginya menjadi dua.
A. Hakikat Manusia Sebagai Makhluk Individu
Individu berasal dari kata in dan devided. Dalam Bahasa Inggris in salah satunya mengandung pengertian tidak, sedangkan devided artinya terbagi. Menurut pendapat Dr. A. Lysen individu berasal dari bahasa latin individum, yang artinya tak terbagi. Kata individu merupakan sebutan yang dipakai untuk meyatakan satu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Kata individu bukan berarti manusia secara keseleruhan yang tak dapat dibagi, melainkan sebagai kesatuan terbatas, yaitu perseorangan manusia.[1] Individu menekankan penyelidikan kepada kenyataan-kenyataan hidup yang istimewa, dan seberapa mempengaruhi kehidupan manusia.[2] Individu bukan berarti manusia sebagai suatu keseluruhan yang tak dibagi, melainkan sebagai kesatuan yang terbatas, yaitu sebagai manusia perorangan sehingga sering disebut “ orang seorang” atau “manusia perseorangan”. Individu dalam hal ini adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan-peranan yang khas di dalam lingkungan sosialnya, melainkan juga mempunyai kepribadian serta pola tingkahlaku spesifik tentang dirinya. Akan tetapi dalam banyak hal banyak pula persamaan disamping hal-hal yang spesifik tentang dirinya dengan orang lain.[3] Disini jelas bahwa individu adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan khas didalam lingkungan sosaialnya, melainkan juga mempunyai kepribadian, serta pola tingkah laku spesifik dirinya. Persepsi terhadap individu atau hasil pengamatan manusia dengan segala maknanya merupakan suatu keutuhan ciptaan Tuhan yang mempunyai tiga aspek yang melekat pada dirinya, yaitu aspek organik jasmaniah, aspek psikis rohaniah, dan aspek sosial. Apabila terjadi kegoncangan pada salah satu aspek, maka akan membawa akibat pada aspek yang lainnya.
Masih terkait dengan persoalan antara individu satu dengan individu lainnya, maka manusia menjadi lebih bermakna apabila pola tingkah lakunya hampir identik dengan tingkah laku massa yang bersngkutan. Proses yang meningkatkan ciri-ciri individualitas pada seseorang sampai pada dirinya sendiri disebut proses individualisasi atau aktualisasi diri. Dalam proses ini, individu dibebani berbagai peranan yang berasal dari kondisi kebersamaan hidup, yang akhirnya muncul suatu kelompok yang akan menentukan kemampuan satu masyarakat. Individu dalam tingkahlaku menurut pola pribadinya memiliki tiga kemungkinan:[4]
  1. Menyimpang dari norma kolektif kehilangan individualitasnya.
  2. Takluk terhadap kolektif.
  3. Ketiga mempengaruhi masyarakat.
Manusia sebagai makhluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan psikis, unsur raga dan jiwa. Seseorang dikatakan sebagai manusia individu manakala unsur-unsur tersebut menyatu dalam dirinya. Jika unsur tersebut sudah tidak menyatu lagi maka seseorang tidak disebut sebagai individu. Dalam diri individu ada unsur jasmani dan rohaninya, atau ada unsur fisik dan psikisnya, atau ada unsur raga dan jiwanya.
Menurut Nursid Sumaatmadja (2000), kepribadian adalah keseluruhan perilaku individu yang merupakan hasil interaksi antara potensi-potensi bio-psiko-fiskal (fisik dan psikis) yang terbawa sejak lahir dengan rangkaian situasi lingkungan, yang terungkap pada tindakan dan perbuatan serta reaksi mental psikologisnya, jika mendapat rangsangan dari lingkungan. Dia menyimpulkan bahwa faktor lingkungan (fenotip) ikut berperan dalam pembentukan karakteristik yang khas dari seseorang.[5]
Manusia dikatakan menjadi individu apabila pola tingkah lakunya sudah bersifat spesifik didalam dirinya dan bukan lagi menuruti pola tingkahlaku umum.
Didalam sebuah massa manusia cenderung menyingkirkan individu alitasnya karena tingkah lakunya adalah hampir identik dengan tingkahlaku massa yang bersangkutan. Dalam hubungan ini dapat dicirikan, apabila manusia dalam tindakan-tindakannya menjurus kepada kepentingan pribadi maka disebut manusia sebagai makhluk individu, sebaliknya apabila tindakan-tindakannya merupakan hubungan dengan manusia lainnya, maka manusia itu dikatakan makhluk sosial. Pengalaman menunjukkan bahwa jika seseorang pengabdiannya kepada diri sendiri besar, maka pengabdiannya kepada masyarakat kecil. Sebaliknya jika seseorang pengabdiannya kepada diri sendiri kecil, maka pengabdiannya kepada masyarakat besar. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa proses yang dikatakan bahwa yang meningkatkan ciri-ciri individualitas pada seseorang sampai ia adalah dirinya sendiri, disebut sebagai proses individualitas, atau kadang-kadang juga diberi nama proses aktualisasi diri.[6]
B. Perkembangan Individu
Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk ciptaan Tuhan terdiri atas unsur jasmani dan rohani. Dalam rangka perkembangan individu, diperlukan suatu keterpaduan antara pertumbuhan jasmani dan rohani.
Individu tidak mampu berdiri sendiri, melainkan hidup dalam hubungan antara sesama inidividu. Dengan demikian, dalam hidup dan kehidupannya,  manusia selalu mengadakan kontak dengan manusia lain. Karena itu manusia sebagai individu juga merupakan makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat.  Sejak lahir sampai pada akhir hayatnya, manusia hidup ditengah-tengah kelompok sosial atau kesatuan sosial juga dalam situasi sosial yang merupakan bagian dari ruang lingkup suatu kelompok sosial. Kelompok sosial yang merupakan awal kehidupan manusia individu adalah keluarga. Dalam keluarga ada rasa saling tergantung diantara sesama manusia yang membentuk individu berkembang untuk beradaptasi dengan kehidupan dalam masyarakat. Hal ini menandakan bahwa manusia sebagai individu tidak mampu hidup sendiri, tetapi diperlukan keberadaan dalam suatu kelompok (masyarakat) sehingga individu merupakan makhluk sosial.[7] Ini berarti antara individu dan kelompok terdapat hubungan timbal balik dan hubungan yang sangat erat yang merupakan hubungan fungdional.
Setiap manusia memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri, tidak ada manusia yang persis sama. Dari sekian banyak manusia, ternyata masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Seorang individu adalah perpaduan antara faktor fenotipe dan genotipe. Faktor genotipe adalah faktor yang dibawa individu sejak lahir, ia merupakan faktor keturunan, dibawa individu sejak lahir. Kalau seseorang individu memiliki ciri fisik atau karakter sifat yang dibawa sejak lahir, ia juga memiliki ciri fisik dan karakter atau sifat yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan (faktor fenotipe). Faktor lingkungan (fenotipe) ikut berperan dalam pembentukan karakteristik yang khas dari seseorang. Istilah lingkungan merujuk pada lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Ligkungan fisik seperti kondisi alam sekitarnya. Lingkungan sosial, merujuk pada lingkungan di mana seorang individu melakukan interaksi sosial. Kita melakukan interaksi sosial dengan anggota keluarga, dengan teman, dan kelompok sosial yang lebih besar. Karakteristik yang khas dari seseorang dapat kita sebut dengan kepribadian. Setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor bawaan genotipe, dan faktor lingkungan (fenotipe) yang saling berinteraksi terus-menerus.[8]
Pertumbuhan dan perkembangan individu menjadi pribadi yang khas tidak terjadi dalam waktu sekejap, melainkan terentang sebagai kesinambungan perkembangan sejak masa janin, bayi, anak , remaja, dewasa sampai tua. Istilah pertumbuhan lebih tertuju pada segi fisik atau biologis individu, sedangkan perkembangan tertuju pada segi mental psikologis individu.
Pertumbuhan dan perkembangan individu dipengaruhi beberapa faktor. Mengenai hal tersebut ada tiga pandangan, yaitu:[9]
  1. Pandangan nativistik menyatakan bahwa pertumbuhan individu semata-mata ditentukan atas dasar fakor dari dalam individu sendiri, seperti bakat dan potensi, termasuk pula hubungan atau kemiripan dengan orang tuanya. Misalnya, jika ayahnya seniman maka sang anak akan menjadi seniman pula.
  2. Pandangan empiristik menyatakan bahwa pertumbuhan individu semata-mata didasarkan atas faktor lingkungan. Lingkuganlah yang akan menentukan pertumbuhan seseorang. Pandangan ini bertolak belakang dengan pandangan nativistik.
  3. Pandangan konvergensi yang menyatakan bahwa pertumbuhan individu dipengaruhi oleh faktor diri individu dan lingkungan. Bakat anak merupakan potensi yang harus disesuaikan dengan diciptakannya lingkungan yang baik sehingga ia bisa tumbuh secara optimal. Pandangan ini berupaya menggabungkan kedua pandangan sebelumnya.
Pada dasarnya, kegiatan atau aktivitas seseorang ditujukan untuk memenuhi kepentingan diri dan kebutuhan diri. Sebagai makhluk dengan kesatuan jiwa dan raga, maka aktivitas individu adalah untuk memenuhi kebutuhan baik kebutuhan jiwa, rohani, atau psikologis, serta kebutuhan jasmani atau biologis. Pemenuhan kebutuhan tersebut adalah dalam rangka menjalani kebutuhannya.
Pandangan yang mengembangkan pemikiran bahwa manusia pada dasarnya adalah individu yang bebas dan merdeka adalah paham individualisme. Paham individualisme menekankan kesususan, martabat, hak, dan kebebasan orang perorang. Manusia sebagai individu yang bebas dan merdeka tidak terikat apapun dengan masyarakat ataupun negara. Manusia bisa berkembang dan sejahtera hidupnya serta berlanjut apabila dapat bekerja secara bebas dan berbuat apa saja untuk memperbaiki dirinya sendiri.
  1. Manusia Sebagai Makhluk Sosial
  1. Pengertian manusia Sebagai Makhluk Sosial.
Manusia sebagai makhluk sosial adalah manusia yang senantiasa hidup dengan manusia lain (masyarakatnya). Ia tidak dapat merealisasikan potensi hanya dengan dirinya sendiri. Manusia akan membutuhkan manusia lain untuk hal tersbut, termasuk dalam mencukupi kebutuhannya.[10]
Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat, selain itu juga diberikan yang berupa akal pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan selalu menampakan dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu dengan sendirinya manusia akan selalu bermasyarakat dalam kehidupannya. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, juga karena pada diri manusia ada dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain, manusia juga tidak akan bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup di tengah-tengah manusia.[11]
Ketika manusia sebagai makhluk individu ternyata tidak mampu hidup sendiri. Pada usia bayi, ia sudah menjalin hubungan terutama dengan ayah dan ibu, dalam bentuk gerakan, senyuman, dan kata-kata. Pada usia 4 tahun, ia mulai berhubungan dengan teman- teman sebaya dan melakukan kontak sosial. Pada usia-usia selanjutnya, ia terikat dengan norma-norma pergaulan dengan lingkungan yang semakan luas. manusia hidup dalam lingkungan sosialnya. Ia dalam menjalani kehidupannya akan senantiasa bersama dan bergantung pada manusia lainnya. Manusia saling membutuhkan dan harus bersosialisasi dengan manusia lainnya. Hal ini disebabkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat memenuhinya sendiri. Ia akan bergabung dengan manusia lain membentuk kelompok-kelompok dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan tujuan hidup. Dalam hal ini, manusia sebagai individu memasuki kehidupan bersama dengan individu lainnya.
Berdasarkan proses diatas, manusia lahir dengan keterbatasan, dan secara naluriah manusia membutuhkan hidup dengan manusia lainnya. Manusia sejak lahir dipeliharadan dibesarkan dalam sesuatu masyarakat terkecil, yaitu keluarga. Keluarga terbentuk karena adanya pergaulan antar anggota sehingga dapat dikatakan bahwa berkeluarga merupakakn kebutuhan manusia. Esensinya, manusia memerlukan orang lain atau hidup hidup dalam kelompoknya.[12]
Cooley berpendapat, ia memberi nama looking-glass self untuk melihat bahwa seseorang dipengaruhi oleh orang lain. Nama demikian diberikan olehnya karena melihat analogi antara pembentukan diri seseorang dengan perilaku orang yang sedang bercermin; kalau cermin memantau apa yang ada didepannya, maka menurut Cooley diri seseorang memantau apa yang di rasakannya sebagai tanggapan masyarakat terhadapnya.[13]
Cooley berpendapat bahwa looking-glass self terbentuk melalui tiga tahap:
  1. Tahap pertama, seseorang mempunyai persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya.
  2. Tahap kedua, sesorang mempunyai persepsi mengenai penilaian orang lain terhadap penampilannya.
  3. Tahap ketiga, seseoerang mempunyai perasaan terhadapa aap yang dirasakannya sebagai penilaian orang lain terhadap itu.
Untuk memahami pendapat Cooley disini dapat disajikan suatu contoh. Seorang siswa yang cenderung memperoleh nilai-nilai rendah (misalnya, 4 atau 5) dalam ujian-ujian semesternya. Misalnya para guru yang ada di sekolah menganggapnya bodoh. Ia merasa pula bahwa karena ia dinlai bodoh maka ia kurang dihargai guru-gurunya. Karena kurang dihargai siswa, siswa tersebut menjadi murung. Jadi disini perasaan diri sendiri seseorang merupakan pencerminan dari penilaian orang lain (looking-glass self). Dalam kasus tersebut diatas, pelecehan oleh guru ini ada dalam benak si siswa dan memengaruhi pandangannya mengenai dirinya sendiri, terlepas dari soal apakah dalam kenyataan para guru memang berperasaan demikian terhadapnya.
Aristoteles (384-322 SM) seorang ahli filsafat yunani kuno menyatakan dalam ajarannya, bahwa manusia adalah zoon politicon artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk, pada dasarnya selalu ingin bergaul dalam masyarakat. Karena sifatnya yang ingin bergaul satu sama lain, maka manusia disebut sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia lahir, hidup berkembang, dan meninggal dunia di dalam masyarakat. Sebagai idividu, manusia tidak dapat mencapaisegala sesuatu yang diinginkan dengan mudah tanpa bantuan orang lain.
Paham yang mengembangkan pentingnya aspek kehidupan sosial kehidupan manusia adalah sosialisme. Sosialisme memberikan nilai lebih pada manusia sebagai sebagai makhluk sosial. Sosialisme merupakan reaksi atas sistem liberalisme yang dilahirkan oleh paham individualisme.[14]
Salah sau peranan dikaitkan dengan sosialisasi oleh teori George Herbert Mead. Dalam teorinya yang diuraikan dalam buku Mind, Self, and Socienty (1972), Mead menguraikan tahap-tahap pengembangan secara bertahap melalui beberapa tahap-tahap Play Stage, tahap Game Stage, dan tahap Generalized Other.
Menurut mead setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari peranan-peranan yang ada dalam masyarakat. Sosialisasi adalah suatu proses dimana didalamnya terjadi pengambilan peranan yang harus dijalankannya serta peranan yang harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peranan yang ada dalam masyarakat ini seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain. Menurut Mead tahap-tahapan itu adalah:[15]
1.      Play Stage, seseorang anak kecil mulai belajar mengambil peranan orang-orangg yang ada di sekitarnya. Ia mulai menirukan peranan yang dijalankan oleh orang tuanya atau peranan orang dewasa lain dengan siapa ia sering berinteraksi.
2.      Game Stage, seorang anak tidak hanya telah mengetahui peranan yang harus dijalankannya, tetapi telah pula mengetahui peranan yang harus dijalankannya oleh orang lain dengan siapa ia berinteraksi.
3.      Generalized Other, pada tahap awal sosialisasi, interaksi seorang anak biasanya terbatas pada sejumlah kecil orang lain biasanya snggota keluarga, terutama ayah dan ibu. Oleh Mead orang-orang yang penting dalam proses sosialisasi ini dinamakan significant other. Pada tahap ketiga sosialisasi seseorang dianggap telah mampu mengamil peranan-peranan yang dijalankan orang lain dalam masyarakat mampu mengambil peranan Generalized Other. Ia telah mampu brinterksi dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami peranannya sendiri serta peranan orang lain dengan siapa ia berinteraksi.
Dapat disimpulkan, bahwa manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, karena beberapa alasan sebagai berikut:[16]
a.       Manusia tunduk pada aturan, norma sosial.
b.      Perilaku manusia mengharapkan suatu penilaian dari orang lain.
c.       Mansuia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain.
d.      Potensi manusia akan berkembang bila ia hidup di tengah-tengah manusia.
  1. Peranan Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Manusia sebagai pribadi adalah berhakikat sosial. Artinya, manusia akan senantiasa dan selalu berhubungan dengan orang lain. Manusia tidak mungkin hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Fakta ini memberikan kesadaran akan “ketidakberdayaan” manusia dalam memenuhi kebutuhannya sendiri.
Kebutuhan akan orang lain dan interaksi sosial membentuk kehisupan berkelompok pada manusia. Berbagai kelompok sosial tumbuh seiring dengan kebutuhan manusia untuk saling berinteraksi.
Dalam berbagai kelompok sosial ini, manusia membutuhkan norma-norma pengaturannya. Terdapat norrma-norma sosial sebagai patokan untukbertingkah laku bagi manusia di kelompoknya. Norma-norma tersebut ialah:
a.       Norma agama atau religi, yaitu norma yang bersumber dari Tuhan yang diperuntukkan bagi umat-Nya. Norma agama berisi perintah agar dipatuhi dan larangan agar dijauhi umat beragama. Norma agama ada dalam ajaran-ajaran agama.
b.      Norma kesusilaan atau moral, yaitu norma yang bersumber dari hati nurani manusia untuk mengajak kepada kebaikan dan menjauhi keburukan. Norma moral bertujuan agar manusia berbuat baik secara moral. Orang berkelakuan baik adalah orang yang bermoral, sedangkan orang yang berkelakuan buruk adalah orang tidak bermoral atau amoral.
c.       Norma kesopanan atau adat adalah norma yang bersumber dari masyarakat dan berlaku terbatas pada lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Norma ini di maksudkan untuk menciptakan keharmonisan hubungan antarsesama.
d.      Norma hukum, yaitu norma yang dibuat masyarakat secara remi (negara) yang pemberlakuannya dapat dipaksakan. Norma hukum yang brsifat tertulis.
Selain itu, norma dapat dibedakan pula menjadi empat macam berdasarkan kekuatan berlakunya dimasyarakat. Ada norma yang daya ikatnya sangat kuat, sedang, dan ada pula norma yang daya ikatnya  sangat lemah. Keempat jenis tersebut adalah cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), dan adat istiadat (costum).
a.       Cara (usage)
Cara adalah bentuk kegiatan manusia yang daya ikatnya sangat lemah. Norma ini lebih menonjol dalam hubungn antarindividu atau perorangan. Pelanggaran terhadap norma ini tidak mengakibatkan hukuman yang berat, tetapi sekedar celaan. Contohnya cara makan, ada yang makan sambil berdiri dan ada yang makan sambil duduk. Cara makan sambil duduk dianggap lebih panas dibandingkan cara makan sambil bediri.
b.      Kebiasaan (falkways)
Kebiasaan adalah kegiatan atau perbuatan yang di ulang-ulang dalam bentuk yang sama oleh orang banyak kerana disukai. Norma ini lebih kuat daya ikatnya dari pada norma cara. Contohnya, kebiasaan salam bila bertemu.
c.       Tata kelakuan (mores)
Tata kelakuan adalah kebiasaan yang di anggap sebagai norma pengatur. Sifat norma ini disatu sisi sebagai pemaksa suatu perbuatan dan disisi lain sebagai suatu larangan. Dengan demikian, tata kelakuan dapat menjadi acuan agar masyarakat menyusuaikan diri dengan kelakuan yang ada serta meninggalkan perbuatan yang tidak sesui dengan tata kelakuan.
d.      Adat istiadat (custum)
Adat istiadat adalah kelakuan yang telah menyatu kuat dalam pola-pola perilaku sebuah masyarakat. Oleh karena itu pada umumnya

 


Merasa, ada ribuan ton yang membebani pundak, nafas menjadi sesak dan waktu seakan berhenti. Membaca sebuah blog salah seorang dosen saya. Ditengah keberadaan saya yang sekarang sedang tegak pada sebuah status "Mahasiswa Tingkat akhir", benar-benar merasa tertantang untuk merealisasikan--KEJUJURAN--segalanya.
Berikut, saya copas:

Abdurrahman Ibn Khaldun (1332 M-1406 M), lahir di Tunisia, adalah sosok pemikir muslim legendaris. Ibnu Khaldun membuat karya tentang pola sejarah dalam bukunya yang terkenal: Muqaddimah, yang dilengkapi dengan kitab Al-I’bar yang berisi hasil penelitian mengenai sejarah bangsa Berber di Afrika Utara. Dalam Muqaddimah itulah Ibnu Khaldun membahas tentang filsafat sejarah dan soal-soal prinsip mengenai jatuh bangunnya negara dan bangsa-bangsa. Menurut Ibnu Khaldun jatuh bangunnya sebuah negara ditentukan oleh sikap manusia yang ada di dalamnya. Itulah faktor akhlak.

Ternyata, menurut Ibn Khaldun, negara yang bertahan ialah negara yang ‘baik’ di dalam segala urusan kenegaraannya. Sebuah negara yang disukai rakyatnya sudah pasti akan dipertahankan dari keambrukan lantaran putaran perjalanan sejarah bangsa manusia. Peradaban maju karena faktor akhlak dan runtuh karena rusaknya akhlak. Pemikiran Ibnu Khaldun ternyata kemudian hari diperkuat oleh ahli dari Universitas Harvard bahwa ‘Sikap mental dan karakter sebuah bangsalah yang menentukan kemajuan dan kemundurannya’ (“Culture Matters”, Harvard University).

Terkait hal ini, maka bangsa-bangsa yang tersebut besar di zaman kontemporer dalam kurun ini, pastinya memiliki faktor akhlak yang mereka pegang, walau mungkin hanya satu dua. Zaman Uni Soviet dahulu berpaham komunis, walau bagaimana jahatnya Komunis itu, tentunya ada tetap memegang satu dua nilai akhlak, diantaranya akhlak tentang kebersihan, seperti betapa bersihnya sungai dari sampah di sana.

Kita tak akan berbicara tentang akhlak bernegara, tapi penulis tertarik untuk membawa konsep pemikiran ibnu Khaldun pada ranah dunia pendidikan untuk melihat sejauh mana peran serta budi pekerti, moral perilaku atau apa saja sinonim dari kata akhlak ini terhadap kemajuan pendidikan di institusi pendidikan mana saja.
Semangat belajar

Ada banyak pepatah di banyak negara yang menyangkut tentang kesungguhan, seperti Siapa menanam dia akan menuai (pepatah Melayu), you reap what you sow (pepatah Inggris), atau Man Jadda wa jadda (pepatah Arab). Setiap orang akan mendapatkan apa yang diusahakan dengan sepenuh kesungguhan. Suatu waktu kita mendapatkan hasil yang tidak kita inginkan, bisa jadi salah satu penyebabnya adalah kurangnya kesungguhan dalam meraihnya. Kita terlalu santai, atau pasrah sebelum bekerja keras mencapai cita-cita.

Mengujungi kampus UGM Yogyakarta di sore hari menjelang magrib membuat terkesima. Nampak para mahasiswa yang sedang serius belajar kelompok di taman kampus. Perpustakaan kampuspun buka hingga malam, dan para mahasiswa juga dengan serius belajar disana, kadang membawa makanan dan minuman sebagai bekal. Tak terdengar canda tawa karena ‘khusyu’nya. Maka terasa wajar, bila peringkat teratas nasional dan masuk peringkat internasional yang diraih UGM, yang sekali waktu bergantian dengan ITB dan UI. Pemeringkatan tersebut tidak hanya oleh lembaga pemeringkatan Direktorat Pendidikan Tinggi melalui BAN-PT, tapi lembaga pemeringkatan universitas dunia seperti Webometric, QS World University Ranking, atau Times Higher Education menempatkannya pada posisi ratusan di universitas terbaik dunia.

Sungguhpun demikian, durasi belajar mahasiswa di TU Delft Belanda ternyata lebih panjang dari UGM. Mereka bahkan bisa belajar serius di kampusnya dari pagi hingga jam 12 malam (waktu tutup pustaka/kampus). Semua ruangan pustaka senyap, bahkan pena jatuhpun terdengar. Tak ada berisik walaupun di dalam pustaka ada ratusan mahasiswa yang sedang belajar. Kembali, Webometric, QS World University Ranking, atau Times Higher Education menempatkan Universitas pencetak insinyur kompeni untuk konstruksi di Indonesia di zaman kolonial dulu ini berada di urutan puluhan di dunia.

Jika demikian maka Universitas kelas papan atas dunia, macam Harvard University atau Massechuset Insitute of Technology tentu memiliki durasi belajar yang juga menggila. Sebutan workaholic diidentikkan pada bangsa Jepang karena gila kerja masyarakatnya, maka study-holic pantas pula disebutkan pada civitas penggila belajar diatas.

Cina saat ini adalah negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur tercepat dunia. Cina juga memiliki cadangan devisa terbesar di dunia saat ini. Serbuan barang-barang produksi Cina membuat semua negara khawatir. Bahkan di pasar tradisional Pasar Raya Padang, pedagang buah juga ketakutan dengan serbuan jeruk dari Cina.

Selain semangat bekerja, penduduknya juga mempunyai semangat belajar yang sangat besar. Bahkan masyarakat golongan kebawah pun ulet belajar. Hingga anak-anak kecil di lingkungan pemulung, disela kegiatan mereka untuk menyambung hidup, diisi dengan belajar.

Bekerja keras adalah sebuah akhlak, sementara malas-malasan adalah dosa yang disingkirkan dengan memotivasi diri serta doa harian. Untuk memotivasi bisa dilakukan dengan memasang target harian, target bulanan, semesteran, tahunan dan juga membiasakan diri berada dalam sistim dan lingkungan yang kondusif dan kompetitif. Siapa yang sungguh dia yang mendapat, dan siapa yang menanam dia kan menuai. Itulah sunnatullah (hukum Allah yang berlaku di alam, atau biasa disingkat hukum alam).
Penjagaan integritas kejujuran

Pepatah Inggris juga, the science rests first on integrity. Di Jerman, amat sulit ditemukan perilaku ketidakjujuran akademis. Tesis, disertasi, atau skripsi yang merupakan plagiasi atau manipulasi jarang dijumpai. Mencontek adalah ketidakjujuran akademis yang diganjar dengan hukuman yang amat keras, yakni bukan hanya tidak lulus, tetapi juga dikeluarkan. Semua aturan terkait kejujuran itu sudah tercantum dalam apa yang namanya Studienordnung.

Terlihat Jerman tidak hanya menghargai kejujuran, bahkan menempatkannya sebagai spirit pendidikan. Ketika membuat skripsi, mahasiswa tidak bisa begitu saja mengkopas (copy dan paste). Bila kedapatan melakukan copas jangan dikira bisa lolos mudah. Maka, dalam skripsi atau karya tulis pun semua harus jelas. Bila diketemukan ada paragraph yang mirip dalam karya ilmiah, si mahasiswa bisa dikeluarkan. Untuk bisa lulus, di Jerman memerlukan perjuangan yang amat keras. Ya, disana untuk bisa lulus penuh keringat dan air mata.

Jadi di negara yang dikatakan orang maju, seperti Eropa, Amerika, Australia, dan lainnya sangat ditekankan DILARANG MENYONTEK dalam ujian. Sesiapa kedapatan menyontek, maka ia akan dikeluarkan dari sekolah/kampus. Tapi hasilnya adalah adanya budaya jujur yang terbentuk selama mereka mengalami proses pendidikan, dan mereka para lulusan ini memiliki rasa percaya diri.

Kejujuran yang mendorong persaingan yang sehat dan berkorelasi dengan prestasi bisa disimak pula dari Diniyah Putri Padang Panjang. Sekolah Diniyah Putri Padang Panjang yang didirikan Rahmah el Yunusiyah tahun 1923 ini, tergolong unik dalam penerapan sangsi terhadap siswa yang tidak jujur. Bagi siswa yang kedapatan mencontek dan sejenisnya, hukuman tak main-main: pecat di tempat!

Apakah sangsi itu tidak manusiawi atau akan menurunkan prestasi sekolah? Takutkah Diniyah Putri dengan nilai yang rendah sementara sekolah lain tinggi semua? Ternyata tidak, sangsi yang keras ternyata sangat berdampak positif. Setelah sekolah ini menerapkan pecat di tempat bagi santri yang ketahuan mencontek dalam lima tahun terakhir, pencapaian nilai santri naik hampir dua kali lipat. Tahun ini dua orang santri mampu meraih peringkat pencapai nilai UN tertinggi di Sumatra Barat!

Sungguhpun sangsi terhadap ketidakjujuran berat, tapi buahnya manis, baik untuk skala micro atau makro. Bagi individu jelas dia akan mempunyai kapasitas ketika telah lulus, bagi universitas akan meningkatkan gradenya, dan bagi negara akan ada stock pengelola negara yang akan bersih dalam menjalankan pengelolaan negara kelak, yang jauh dari korupsi yang dikelola oleh orang yang tak biasa untuk tidak jujur. Riset akademik dari universitas Harvard diatas menemukan relevansinya bahwa negara-negara yang tergolong miskin di dunia ini berkorelasi dengan tingginya korupsi di negara itu. Korupsi lagi – lagi adalah bentuk ketidakjujuran, dan ketidakjujuran adalah akhlak yang tercela.

Pandangan Prof. DR. Buchari Alma (UPI Bandung) tentang akhlak kejujuran dalam pendidikan.

Kantin kejujuran telah banyak dibangun di beberapa sekolah di Sumatera Barat. Seorang Guru Besar UPI Bandung, Prof. DR. Buchari Alma berkenan untuk mengomentari usaha mulia dari pemerintah daerah di Sumatera Barat dalam melaksanakan Pendidikan Antikorupsi di Padang yang ternyata dikabarkan belum berjalan maksimal.

Dalam artikel beliau yang berjudul “Pendidikan Anti Korupsi, Membangun Bangsa Yang Jujur, Disiplin, Percaya Diri, Kreatif, dan Rajin Membaca Melalui Proses Ujian Sekolah”, Prof. DR. Buchari Alma memberikan perspektif yang lebih tegas tentang urgensi akhlak kejujuran dalam pendidikan nasional kita.

Menyangkut budaya nyontek yang parah di sekolah (hingga juga mahasiswa S1, S2, S3), beliau menegaskan akibat dari nyontek ini memunculkan perilaku, atau watak, tidak percaya diri, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab, tidak mau membaca buku pelajaran tapi rajin membuat catatan kecil-kecil untuk bahan nyontek, potong kompas, menghalalkan segala macam cara, dan akhirnya menjadi koruptor.

Beliau melihat perilaku nyontek dalam proses ujian adalah simpul yang amat strategis yang perlu dibasmi dalam proses ujian dunia pendidikan kita, dan bahwa kita harus mengembangkan suatu budaya DILARANG KERAS NYONTEK dalam ujian, dan harus diberikan sanksi berat dan tegas tidak pandang bulu.

Pengaruh dari pelaksanaan ujian bersih dari menyontek seperti ini ialah, siswa akan belajar giat, guru akan mengajar lebih serius, anak-anak akan rajin membaca, kegiatan siswa akan fokus pada pelajaran, bukan pacaran, tawuran, mencuri, kenakalan remaja, bermain-main, tapi siswa mulai disiplin dan bertanggung jawab, dan orang tua tidak lagi mencampuri urusan pendidikan. Perilaku jujur akan menjadi budaya nasional kita khususnya budaya jujur dalam dunia pendidikan, dimana ada proses ujian yang mendidik lulusan menjadi orang jujur, tidak korup, memiliki budaya malu, disiplin, bertanggung jawab, percaya diri, dan rajin membaca.

Demikianlah kerisauan Prof. Bukhari Alma tentang Akhlak kejujuran. Maka kurikulum dengan akhlak kejujuran dalam pendidikan, ada baiknya ditekankan sekali disamping kita berbicara tentang pelik peningkatan kualitas pembelajaran, apakah yang namanya Cara Belajar Siswa Aktif, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), sistim asesmen, dan seterusnya. Mari kita sebut dengan juga dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kejujuran).
LATENT SOCIAL PROBLEM
Latent social problem di Indonesia umumnya terjadi dari adanya perbedaan yang mencolok antara nilai-nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada terjadi di masyarakat. Sebab itulah suatu penyimpangan dikatakan sebagai masalah karena terjadi kepincangan di dalam masyrakat yang artinya bahwa masyarakat seolah-olah pihak di dalam masyarakat menjadi buta untuk menetapkan suatu kekeliruan atau bukan, akibatnya masyarakat menjadi hedonisme atau tidak bisa dan tidak mau untuk diatur.
Dikatakan masalah sosial karena hal yang dipandang masalah tersebut bersangkutan dengan hubungan antara manusia dan di dalam kerangka bagian-bagian kebudayaan yang normatif. Pengertiannya bahwa manusia dalam bersosial memilki tata nilai budaya yang perlu dijalankan, hal tersebut menjelaskan adanya tujuan keterikatan suatu masyarakat dengan budaya normatif untuk memberikan rasa aman dan tentram dalam bermasyarakat. Sehingga dikatakan masalah sosial atau latent social problem karena di dalam masyarakat terjadi pembiaran seseorang atau masyarakat melanggar tata nilai budaya normatif dalam berkehidupan, akibatnya akan menjadi habit di tengah masyarakat yang berujung pada pembentukan sikap atau mental yang lemah.
Contoh latent social problem ; judi di dalam masyarakat seperti judi bola. Ketika permainan sepak bola dijadikan sebagai arena judi yang berarti jika kalah taruhan harus membayar taruhannya pada yang menang. Dewasa ini kejadian seperti itu di dalam masyarakat khusunya pria dewasa seakan menjadi kebutuhan untuk meramaikan pertandingan dan menjadi habit tidak ada pelarangan diantara sekitarnya.
Haruskah mental Indonesia seperti itu? Ketika kesalahan menjadi wajar dan akhirnya menjadi budaya yang salah?. Marilah kita renungkan masa depan masyarakat kita, boleh kita tanyakan pada diri kita bagaimana solusi untuk mencerahkan latent social probelem itu. Perlu diperhatikan adalah ketika kita dihadapkan dalam kenyataan tersebut kita hendaknya kembali lagi pada sikap nilai-nilai religi, sebagai orang yang mengetahui harusnya menegur kekeliruan tersebut dan yang paling selemah-lemahnya iman adalah membenci perbuatan tersebut untuk tidak ikut terjerumus.

CARA MENGHADAPI GLOBALISASI

PENGERTIAN GLOBALISASI
Kata GLOBALISASI diambil dari kata “global”. yang maknanya ialah “universal”.
GLOBALISASI adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan ketertarikan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk – bentuk interaksi yang lain sehingga batas – batas suatu negara menjadi bias.
CIRI – CIRI BERKEMBANGNYA GLOBALISASI
1. Perubahan dalam konstantin ruang dan waktu, maksudnya berkembangnya barang – barang seperti HP, televisi satelit, dan internet menunjukan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepat.
2. Pasar dan produksi ekonomi di negara – negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional.
3. Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa, maksudnya saat ini kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal – hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.
4. Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional, dll.
nah, setelah mengetahui pengertian dan ciri – ciri berkembangnya globalisasi barulah kita membicarakan tentang “Bagaimana cara menghadapi era globalisasi ?”. Inilah tips – tipsnya .
CARA MENGHADAPI ERA GLOBALISASI
1. Menyaring budaya asing yang masuk ke negara kita harus yang sesuai dengan kepribadian bangsa.
2. Mencintai atau membeli produk dalam negeri sendiri.
3. Meningkatkan produksi dalam negeri agar dapat bersaing dengan produksi negara – negara maju.
4. Berusaha mengikuti perkembangan IPTEK
5. dan yang paling penting meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan YME.

CINTA IDEAL

untuk mencintai bukanlah hal yang sulit, karena mencintai adalah manusiawi. Namun jarang dari kita yang berani menyatakan 'tidak' kepada pihak yang secara naluri sangat kita cintai, padahal kita tahu bahwa mencintainya berarti mendzalimi diri sendiri dan orang lain,mencintainya berarti melanggar aturan Allah Swt atau mencintainya berarti menghalalkan segala cara. Hati dan pikiran mendesak lidah untuk mengatakan tidak tapi yang terucap adalah ya 'sebenarnya saya tahu itu haram, tetapi saya mencintai, tetapi saya kasihan kepadanya jodoh saya'.

sebaliknya, untuk menyatakan ya banyak dari kita yang sangat murah hati, bahkan diucapkan berulang kali seolah-olah orang yang kita cintai itu belum kita yakinkan. apalagi ya itu demi mencapai apa yang kita inginkan, maka apapun permintaaanya akan dilaksanakan. andai pun kata ya harus diucapkan berulang kali, bahkan dengan seribu janji, naka tak ada aral melintang tak ada alasan untuk merubahnya menjadi tidak.

mengatakan tidak memang resiko, menuntut tanggung jawab dan keberanian. ketika nabi Yusuf menyatakan tidak kepada istri penguasa yang bernafsu menggagahinya resikonya penjara atau di asingkan. ketika para pahlawan tanah air ini menyatakan tidak kepada kolonial, resikonya mati gantung,dipenjara, diasingkan atau dijauhkan dari orang-orang yang dicintainya. apalagi menyatakan tidak dalam urusan cinta sementara hati sepenuhnya mencintai dia, maka resikonya berjejer panjang. bisa menjadi frustasi karena cinta tak terbalas, atau minder karena takut jatuh cinta lagi karena berbahaya, atau dijauhi keluarga, diasingkan, diancam dan sederet penderitaan lainya.


budaya tidak sudah dimulai sejak para Nabi Luth menerima ajaran umatnya untuk menumbar nafsu atas nama cinta hingga melakukan seks nafsu atas nama cinta hingga melakukan seks bebas dengan esama jenis, Nabi Luth berani berkata tidak bahkan lebih dari itu, beliau berani menghadapi mereka dan menasehatinya untuk tidak menuruti setan,resikonya, beliau dijauhi umatnya. beliau diancam akan dibunuh, di boikot kebutuhan ekonominya dan mendapat teror yang berkepanjangan dan terus menerus. ketika nabi Muhammad mendapat ajakan dari kaum kafirin untuk sama-sama menyembah patung dengan kompensasi merekapun mau menyembah Allah.


 

TEKNOLOGI

Teknologi adalah metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis; ilmu pengetahuan terapan atau dapat pula diterjemahkan sebagai keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yg diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.[1]

Dalam memasuki Era Industrialisasi, pencapaiannya sangat ditentukan oleh penguasaan teknologi karena teknologi adalah mesin penggerak pertumbuhan melalui industri.[2]

Sebagian beranggapan teknologi adalah barang atau sesuatu yang baru.[3] namun, teknologi itu telah berumur sangat panjang dan merupakan suatu gejala kontemporer.[3] Setiap zaman memiliki teknologinya sendiri.[3]

Sejarah Teknologi


Perkembangan teknologi berlangsung secara evolutif.[4] Sejak zaman Romawi Kuno pemikiran dan hasil kebudayaan telah nampak berorientasi menuju bidang teknologi.[4]

Secara etimologis, akar kata teknologi adalah "techne" yang berarti serangkaian prinsip atau metode rasional yang berkaitan dengan pembuatan suatu objek, atau kecakapan tertentu, atau pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau metode dan seni.[4] Istilah teknologi sendiri untuk pertama kali dipakai oleh Philips pada tahun 1706 dalam sebuah buku berjudul Teknologi: Diskripsi Tentang Seni-Seni, Khususnya Mesin (Technology: A Description Of The Arts, Especially The Mechanical).[4]

Pengertian Teknologi


Teknologi merupakan perkembangan suatu media / alat yang dapat digunakan dengan lebih efisien guna memproses serta mengendalikan suatu masalah.

Kemajuan Teknologi


Dalam bentuk yang paling sederhana, kemajuan teknologi dihasilkan dari pengembangan cara-cara lama atau penemuan metode baru dalam menyelesaikan tugas-tugas tradisional seperti bercocok tanam, membuat baju, atau membangun rumah.[5]

Ada tiga klasifikasi dasar dari kemajuan teknologi yaitu :[5]

  • Kemajuan teknologi yang bersifat netral (bahasa Inggris: neutral technological progress)
    Terjadi bila tingkat pengeluaran (output) lebih tinggi dicapai dengan kuantitas dan kombinasi faktor-faktor pemasukan (input) yang sama.
  • Kemajuan teknologi yang hemat tenaga kerja (bahasa Inggris: labor-saving technological progress)
    Kemajuan teknologi yang terjadi sejak akhir abad kesembilan belas banyak ditandai oleh meningkatnya secara cepat teknologi yang hemat tenaga kerja dalam memproduksi sesuatu mulai dari kacang-kacangan sampai sepeda hingga jembatan.
  • Kemajuan teknologi yang hemat modal (bahasa Inggris: capital-saving technological progress)
    Fenomena yang relatif langka. Hal ini terutama disebabkan karena hampir semua riset teknologi dan ilmu pengetahuan di dunia dilakukan di negara-negara maju, yang lebih ditujukan untuk menghemat tenaga kerja, bukan modalnya.

Pengalaman di berbagai negara berkembang menunjukan bahwa campur tangan langsung secara berlebihan, terutama berupa peraturan pemerintah yang terlampau ketat, dalam pasar teknologi asing justru menghambat arus teknologi asing ke negara-negara berkembang.[6]

Di lain pihak suatu kebijaksanaan 'pintu yang lama sekali terbuka' terhadap arus teknologi asing, terutama dalam bentuk penanaman modal asing (PMA), justru menghambat kemandirian yang lebih besar dalam proses pengembangan kemampuan teknologi negara berkembang karena ketergantungan yang terlampau besar pada pihak investor asing, karena merekalah yang melakukan segala upaya teknologi yang sulit dan rumit.[6]